Nilai Budaya dari film Sang Penari

Imas Ayu Noviawati
Sang Penari

Adat istiadat memang tidak pandang bulu. Apalagi jika adat istiadat yang sedianya berlangsung secara turun-temurun tersebut ada di sebuah desa pedalaman di Indonesia tahun 1960-an. Kemiskinan dan gagal panen yang melanda desa kecil tersebut pun semakin menjustifikasi warga desa untuk bersandar pada hal-hal supranatural. Dengan kepercayaan animisme dan nilai tradisional yang kuat, warga pun rela meninggalkan logika demi memuja sang adat dan tradisi. Situasi menjadi semakin kompleks ketika modernitas yang datang dengan deras menyerbu nilai tradisional. Para pelaku adat pun segera membangun tembok setinggi mungkin, dengan dalih pribadinya telah menyatu dengan adat.

Di dukuh (desa) Paruk tahun 1960-an, hiduplah sepasang sahabat yang tumbuh bersama; Rasus (Nyoman Oka Antara) dan Srintil (Prisia Nasution). Dalam perkembangannya, ternyata mereka saling menyimpan perasaan terhadap satu sama lain. Tetapi percintaan mereka terhalang oleh kemampuan Srintil menari. Warga desa pun percaya bahwa Srintil adalah titisan ronggeng (penari desa), dimana tidak semua orang bisa menjadi ronggeng. Dukuh Paruk yang terus menerus gagal panen memang sedang membutuhkan seorang ronggeng untuk memberi warna dan semangat bagi warga desa yang mulai putus asa. Namun untuk menjadi seorang ronggeng dukuh, Srintil – dan tubuhnya – akan menjadi milik warga desa. Rasus yang mengetahui tradisi tersebut tidak terima jika Srintil bagaikan “pohon kelapa yang seenaknya dipanjat berbagai orang”. Dalam keputusasaan, Rasus pun meninggalkan Dukuh Paruk untuk menjadi seorang tentara. Jaman bergerak, politik tahun 1965 pun bergejolak. Saat-saat dimana Rasus dan Srintil harus memilih untuk loyal pada aset sosial atau mengikuti perasaan masing-masing pun tiba. Sadar tidak ada jalan tengah dari dilema tersebut, mereka pun harus memilih salah satunya.

Budaya ronggeng yang kental dengan adat Jawa ini memang terbilang unik. Tarian rakyat yang telah hidup di kalangan masyarakat agraris Jawa sejak abad ke-15 ini awalnya adalah ritual pemujaan terhadap Dewi Kesuburan atau Dewi Sri. Konon, dengan diadakan pagelaran ronggeng, maka dipercaya akan melancarkan panen di musim tersebut. Ternyata ada lagi kepercayaan barangsiapa yang meniduri ronggeng, akan melancarkan pula kesuburan sang pria. Tidak heran jika para istri malah bangga jika suaminya bisa meniduri ronggeng, dengan harapan selanjutnya sang istri akan hamil jika bersetubuh dengan sang suami yang telah “menaklukkan” titisan Dewi Kesuburan.

Dalam cerita film ini, warga Dukuh Paruk yang menderita gagal panen pun sangat menanti-nantikan ronggeng baru setelah ronggeng terakhir tewas karena keracunan tempe bongkrek. Disaat ronggeng baru muncul, Srintil pun diperlakukan bak putri kerajaan. Segala macam perlakuan khusus dilakukan oleh warga dukuh untuk “melestarikan” kesenian ronggeng. Ronggeng diperlakukan bak putri kerajaan. Perawatan tubuh, kamar terbaik, kostum terbagus, semua itu dilakukan (dengan dalih) demi terwujudnya masyarakat Dukuh Paruk yang aman dan sejahtera. Dengan satu syarat, ronggeng Dukuh Paruk adalah milik semua warga, dimana keperawanannya dijual kepada penawar tertinggi dalam tradisi “bukak klambu”. Ya, ronggeng Dukuh Paruk tidak hanya diminta memiliki kemampuan menari di panggung, tetapi juga mampu “menari” di atas kasur. Tradisi ini pun dipercaya dapat memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada warga desa – terutama pada laki-laki. Sang ronggeng memang menebar pesona, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Lantas, apa konsekuensinya terhadap citra diri ronggeng oleh masyarakat modern? Lapis berikutnya adalah, bagaimana sang ronggeng menyikapi keharusan bahwa sang ronggeng itu bukan hanya urusan nari tetapi juga “urusan kasur”?

Dalam film ini berbagai lapisan dilema akan kesenian ronggeng yang ada di Indonesia. Tidak hanya dilema terhadap perilaku moral vs kepentingan bersama, tetapi juga citra diri kesenian ronggeng yang sempat diasosiasikan dengan ekspresi gerakan “kiri”. Salah satu cara “Partai Rakyat” untuk mendapatkan pendukung adalah dengan mendekati masyarakat agraris yang buta huruf dan tidak berpendidikan. Dengan segudang alasan kepentingan rakyat dan memanfaatkan kemiskinan warga, “Partai Rakyat” ini pun dengan mudah memerahkan suatu daerah – bahkan menyusupkan indoktrinasi ideologi lewat orasi dalam pertunjukkan ronggeng.

Potret film ini itu berhasil divisualisasikan dengan baik dan menghidupkan atmosfer desa miskin Dukuh Paruk yang kering, namun hangat secara kultural. Setiap set yang ada pun serasa mengingatkan penonton bahwa dulu inilah wajah Indonesia yang terpinggirkan. Kegiatan keseharian masyarakat desa, seperti pembuatan tempe bongkrek, yang diselipkan dalam film ini sukses mengingatkan penonton lokal akan keragaman bangsa yang dimilikinya. Scoring yang mengangkat irama tradisional Jawa pun menambah unsur mistis dan tradisional.

Leave a comment